Nikah Syighar
NIKAH SYIGHAR
Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
Yaitu wali menikahkan gadis yang diurusnya kepada seorang pria dengan syarat dia menikahkannya pula dengan gadis yang diurusnya.
Nafi’ berkata: “Syighar ialah seorang laki-laki menikahi puteri laki-laki lainnya dan dia pun menikahkannya dengan puterinya tanpa mahar. Atau seorang laki-laki menikahi saudara perempuan laki-laki lainnya lalu dia menikahkannya pula dengan saudara pe-rempuannya tanpa mahar.”[1]
An-Nawawi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa pernikahan ini terlarang.”[2]
Adapun hadits-hadits tentang pengharaman pernikahan ini ialah sebagai berikut:
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahiihnya dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ شِغَارَ فِي اْلإِسْـلاَمِ.
“Tidak ada nikah syighar dalam Islam.”[3]
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang syighar.”[4]
At-Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ جَلَبَ وَلاَ جَنَبَ وَلاَ شِغَارَ، وَمَنِ انْتَهَبَ نُهْبَةً فَلَيْسَ مِنَّا.
“Tidak boleh berbuat kejahatan, tidak boleh membangkang, tidak boleh melakukan syighar. Dan barangsiapa melakukan perampasan, maka dia bukan golongan kami.”[5]
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang syighar. Dan syighar ialah menikahkan seseorang dengan puterinya dengan syarat orang tersebut menikahkan dirinya dengan puterinya pula, tanpa ada mahar di antara keduanya.[6]
Beberapa Pernyataan Para Ulama :
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Allah telah mewajibkan mahar dan tidak mewajibkan para saksi. Barangsiapa yang mengatakan bahwa pernikahan itu sah tanpa adanya mahar dan tidak sah kecuali dengan adanya para saksi, maka dia telah menggugurkan apa yang diwajibkan Allah kepadanya dan mewajibkan apa yang tidak diwajibkan Allah.
Inilah di antara yang membuktikan bahwa pendapat penduduk Madinah dan ahli hadits itu lebih shahih daripada pendapat penduduk Kufah mengenai pengharaman nikah syighar. Alasannya hanyalah karena meniadakan mahar. Jadi, bilamana mahar tersebut ada, maka pernikahan pun menjadi sah.”[7]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1] ‘Aunul Ma’buud Syarh Sunan Abi Dawud (no. VI/60).
[2] ‘Aunul Ma’buud Syarh Sunan Abi Dawud (no. VI/60).
[3] HR. Muslim (no. 60) bab Tahriim Nikaahisy Syighaar wa Buthlaanihi kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1123) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3335) kitab an-Nikaah, ‘Abdurrazzaq (no. 6690), Mu’jam al-Kabiir (XI/358).
[4] HR. At-Tirmidzi (no. 1133) kitab an-Nikaah, dan beliau menilainya sebagai hadits hasan shahih, serta dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Tirmidzi (no. 897).
[5] HR. At-Tirmidzi (no. 1123) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2581) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 19354), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Tirmidzi (no. 896).
[6] HR. Al-Bukhari (no. 5112) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1415), kitab an-Nikaah.
[7] Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/132) dengan diringkas
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1923-nikah-syighar.html